Rabu, 05 November 2008

Book Review: Stephen King on Writing



Bisa dikatakan, bahwa salah satu hal terberat dalam proses me-review buku ini adalah memasang “kacamata objektif” pada diri saya. Bagaimana tidak, saya adalah salah satu dari jutaan penggemar Stephen King & karya2 nya. Jadi tentu saja untuk menyajikan sebuah review yang mungkin nantinya bakal dijadikan sebuah rujukan oleh pembaca awam merupakan sebuah “pekerjaan berat” (Mungkin ini kali yha..salah satu efek dari sikap nge-fans/fanatis). Tapi setidaknya saya akan berjuang.meredam luapan ode saya lewat baris -baris kata dibawah ini! Pliz, Cek & Enjoy it..

Tentang Tulisan
Judul asli buku ini adalah On Writing : A Memoir of the Craft. Sebuah buku non-fiksi pertama karya penulis besar Stephen King. Karya yang lahir disaat insidental. Saat penulisnya terbaring dalam masa penyembuhan kecelakaan. Sebuah konsep karya yang tidak pernah terpikirkan dan sempat dipesimiskan sendiri olehnya. Bagaimana tidak, King selama ini dikenal sebagi penulis horror - thriller fiksi ternama asal Amerika Serikat.

Pada dasarnya, On Writing adalah sebuah buku panduan menulis. Tapi, King (& pastinya juga momen proses kreatifnya — dimana ia mengalami kecelakaan) membuat buku ini menjadi berbeda dari buku sejenis lainnya. Sangat membumi, murah hati dan berlandaskan pengalaman nyata. Buku “kompilasi” yang sangat inspirasional. Gabungan antara memoar, autobiografi, & panduan menulis yang tentu juga akan menimbulkan masalah identifikasinya. Setidaknya bakal jadi pekerjaan tambahan untuk para pekerja penata buku di toko buku dalam pengklasifikasian display-nya. Hehe..

Buku ini dibuka dengan sebuah memoar yang ia namai dengan CV. Sebuah bagian yang menceritakan tentang perjalanan & kondisi hidupnya yang pada akhirnya membentuk kepribadian dan keinginannya untuk menjadi seorang penulis seperti sekarang ini. Dibagian ini kita akan “berkenalan” dengan Dave – sang kakak - yang sangat kreatif dan ibunya, Mom. Lalu bagian kisah asmaranya dengan Tabitha – penulis yang akhirnya menjadi istrinya – pun tak lupa dicantumkannya. Bagian ini berbicara bahwa karakter kultur/kepribadian & kualitas kreatifitas seseorang salah satunya sangat dipengaruhi oleh kehidupan di lingkungan sekitar kita. Lihat, bagaimana King dapat menghasilkan novel Carrie yang diawali oleh ide “penemuan” pembalut wanita di kamar mandi tempat ia bekerja membersihkannya yang dihubungkan dengan pengetahuan mengenai telekinesis yang ia baca dari majalah. Pada tahap pengembangan idenya menjadi naskah, King sempat frustasi. Khususnya karena minimnya pengetahuan mengenai perihal menstruasi dan prilaku kekejaman pada remaja. Disitulah Tabitha – sang istri – membantu memberikan pengetahuannya.

Bagian selanjutnya dinamainya dengan “Tentang Menulis”. Bagian ini pada dasarnya adalah jawaban dan paparan atas pertanyaan-pertanyaan yang sering ia jumpai pada saat ia mengadakan seminar/pertemuan menulis maupun pertanyaan harapan yang ingin ia dapat dari orang padanya menyangkut kebahasaan. Menariknya, semuanya tetap disajikannya dalam bentuk cerita yang menarik & tidak terkesan menggurui.
Ada 2 tesis mengenai penulisan yang ia ingin ajukan sebagai inti bagian dari buku ini. Pertama, tulisan yang bagus berisi atas hal-hal mendasar (kosakata, tata bahasa, unsur-unsur gaya tulisan). Kedua, meskipun tidak mungkin mengubah penulis yang buruk menjadi penulis yang kompeten, dan sama tak mungkinnya mengubah penulis penulis baik menjadi penulis hebat, sangat mungkin untuk menjadi penulis yang baik daripada sekedar penulis yang kompeten. Dan ini dapat dilakukan dengan banyak kerja keras, dedikasi & bantuan yang tepat.

Melalui buku ini, sejenak Stephen King “meminjamkan” cara & pengalaman berpikirnya pada kita lewat ilustrasi kehidupan nyatanya yang ia ceritakan dengan sangat fasih, bersudut pandang tajam namun tetap berkesan akrab dan ceria.

Sebagian orang mungkin akan memandang skeptis kehadiran buku ini. Menganggap bahwa buku ini adalah project pengisi waktu luang di masa penyembuhan lukanya sebagai sebuah upaya menjaga pamor disaat King mungkin tak berdaya. Dengan kualitas individu serta raihan atas karya sebelumnya, saya rasa King tak butuh ini. Seperti kasus2 musisi/band yang mengeluarkan album “The Best” di saat kevakumannya. Ekspektasinya jauh lebih dari itu. Kejadian kecelakaan seperti banyak memberikan perubahan dan pencerahan baginya. Yang lewat itu semua ia ingin membagikannya pada kita. Lewat sebuah karya yang ia rangkai dan kemas dengan dunianya, menulis!

Saran pertama saya, nikmatilah buku ini diwaktu senggang dan dalam kondisi diri berkapasitas konsentrasi baik..Kalau tidak kita akan dibingungkan oleh banyaknya nama tokoh dan tempat yang akan kita temui dalam buku ini. Apalagi untuk orang yang belum pernah membaca karya King sebelumnya. Karena kadang dalam penceritaaannya, nama tokoh dan tempat tsb “bercampur” dengan nama & tokoh kehidupan nyata King.
Saran kedua saya, segera ambil buku ini, buka tiap lembarnya, ikuti aluran guratan huruf-huruf pada setiap katanya dan nikmati “perjalanan” bersama sang maestro kita, Stephen Edwin King!

Tentang Desain
Salah satu kekhasan yang dimiliki oleh desain buku-buku Stephen King adalah pendistorsian ukuran fonts pada nama penulis. Terkadang size –nya hampir/malah lebih besar dibanding judul buku. (kasus yang bakal sering kita temui pada buku karya penulis top di luar seperti John Grisham —misalnya. Di Indonesia penulis semacam Vira Lestari melakukan hal yang sama).

Kekhasan desain tsb nampaknya dipahami oleh desainer cover buku ini. (Andreas Kusumahadi) sehingga ia tetap mempertahankan pola tadi. Sengaja atau tidak, proses kreatif (adaptasi) tadi seperti berimbas pula pada ide dasar cover buku versi Indonesia-nya ini yang (hampir) sama dengan versi luarnya



Menampilkan visual dengan object jendela/interior ruangan (hoomy). Mungkin sebuah ilustrasi yang menggambarkan tentang personalitas, privasi atau spiritualtas penulis & proses kreatifnya (setidaknya itu yang saya tangkap). Hanya saja desain cover versi Indonesia-nya ini tampil lebih klasik, suram & “berat”. Kesan –kesan tsb mungkin muncul akibat warna, jenis fonts dan ilustrasinya (Entahlah, saya teringat pada poster film-film bersetting kekastilan Eropa semisal Kingdom of Heaven, Lord of The Rings & Harry Potter). Saya pikir, desainer cover ini selain berusaha mempertahankan sebuah pola diatas tadi, juga berusaha memunculkan identitas penulis yang banyak menelurkan karya bergenre horror lewat nuansa yang dibangun melalui perkakas visualnya tadi. Hanya saja menurut saya ekpresi visualnya terlalu emotif. Kalau saja saya tidak mengenal Stephen King, mungkin saya akan mengira buku ini adalah sebuah cerita fiksi tentang raja, pujangga atau penulis dijaman kekastilan – layaknya William Shakesphere. (maaf!)

Pada desain visual interior buku, penggunaan sejenis clipart vector pada awal bab & awal sebuah sub bab terasa tidak matching dengan desain cover. Terjadi sebuah ketidakintegrasian arahan desain. Sehingga mengaburkan “usaha” desainer cover dalam menginterpresentasikan identitas buku & penulisnya. Kasus seperti ini kerap terjadi karena ada semacam “jurang” komunikasi antara desainer cover dengan graphic layouter. Satu PR yang mesti diselesaikan oleh para penerbit (termasuk Mizan – Qanita tentunya) kalau mau produk2 mereka menjadi lebih integral. Mungkin semacam pembenahan koordinasi & manajemen kerja antar lini x yha..Agar minimalnya ketika Stephen King menerima kiriman buku ini nun jauh di Amerika sana bisa tersenyum karena karyanya diperlakukan dengan semestinya, hehe!
Contoh gambar ada di halaman 1 dan 5


oleh: Ade Muh. Wantoro

Read more!

Selasa, 21 Oktober 2008

Book Review: Fish!

Review Tulisan.
Hohow.., penyajiannya keren! Semi-semi novel gitu, dech. Salah satu buku kategori ‘how to’ yang enak untuk dibaca dan tidak membosankan, serius.Buku ini tuh nyeritain bagaimana kita mampu mencintai pekerjaan yang sedang kita jalani.

Ada empat ‘pasal’ yang mesti dimiliki; memilih sikap, bermain, bikin hari yang bahagia dan hadir. Jika keempat ‘pasal’ itu udah dilakuin, bukan aja klien kita yang terpuaskan dan kerjaan kita tuntas. Tetapi juga diri pribadi yang bisa menjadi lebih baik.

Gini dech, lo Pernah ngerasa pekerjaan lo ngebosenin dan memuakkan? Pernah ngerasa apa yang lo harepin melenceng terus? Pernah ngerasa segala rencana yang lo siapin dengan matang harus hancur karena hal sepele? Pernah merasa ga ada yang cocok dan ideal? Pastinya lo pernah. Hanya celakanya, lo gonta-ganti kerja yang lo anggap itu sebagai solusi. Ya, akhirnya, waktu lo habis buat cari yang ga pasti dong. Padahal, mestinya lo bersyukur dengan maslah tersebut. Percaya ato enggak, lo masih manusia tulen dengan permasalahan itu. Dengan begitu, lo dituntut bisa menentukan dan memilih sikap. Bermain di dalamnya, mengatur segalanya supaya bisa membahagiakan orang, juga hadir dan mengalaminya..

Pilih sikap

Sebagai simulasi, sekali-kali coba aja pilih sikap marah. Lo datang ke tempat kerja dalam keadaan marah-marah karena permasalahan pribadi lo bawa-bawa ke tempat kerja, lo rasain gimana lo bekerja. Terus pas udah beres, lo liat lagi apa yang lo dapet? Percaya ato ga, itu tuh cuma karena lo milih sikap mana yang mau lo pake hari itu. Sayang banget kan, kalo hidup yang singkat ini lo bikin ga nyaman? Padahal lo sendiri tau kalo alasan lo dilahirin tuh buat niggalin tanda abadi? Mau punya ‘peninggalan’ yang ga berguna?

Bermain

Oke, lo pilih apapun buat hari-hari lo. Tapi lo jangan mentang2 udah dewasa, lalu ngeharamin satu masa yang sangat membantu dan keren; masa kecil. Masa yang penuh dengan imajinasi dan permainan. Ga heran kalo kadang lo kaku dan ngebosenin. Cari kesenangan dalam ngejalaninnya dong.. serius sih harus, tapi bukan tanpa kesenangan kan? Bermain aja lah. Anggap apa yang lo kerjain sebagai permainan yang menyenangkan.
Buat hari mereka bahagia

Eits.., lo jangan dulu bangga dan besar kepala. Percuma aja kalo lo sendirian yang ngerasainnya. Sesekali ajak dong klien lo dengan cara sopan dan terhormat buat ngerasain yang lo rasain. Buat hari mereka bahagia. Itu bisa bikin mereka (klien) punya kesan yang positif loh.
Hadir

Tapi itu bakal lebih positif lagi kalo lo bisa membuat klien lo merasakan lo ada dan hadir buat dia. Cara lo memperlakukan mereka, cara ngomong lo yang seperti ama temen lama. Perhatian lo.. kalo yang empat hal itu bisa lo lakuin, percaya dech, lo bukan cuma baik di mata klien lo. Tapi yang lebih penting, lo bisa lebih baik buat lo sendiri.

Ga percaya?! Lo rasain sendiri aja, gua nulis review ini juga memilih sikap senang. Terus bermain kata-kata, ngajakin lo dengan bahasa yang biasa gua omongin ke lo supaya bisa ngajak lo bahagia karena ga ngerasa di gurui. Selain itu, gua juga bakal selalu ada (hadir) buat lo. Kan kita temenan..



Review cover.
“FISH!”.
Coba deh lo ucapin juga kata diatas.. Udah? Gimana perasaan lo. Kalo gua sih, ngerasanya jadi semangat gitu. Kaya nemuin sesuatu yang segar, kaya senada dengan; “aha!” atau “eureka!” atau “nah!”.
Dan kover buku ini yang seperti ngomong kaya gitu juga. Percaya ato enggak, gua baca buku ini juga karena liat kovernya. Untung aja isinya (menurut gua) juga bagus.
Dengan kata lain, dari segi kover juga buku ini udah cukup segar. Apalagi kalo tulisan “bekerja jadi…” dan “cara luar biasa…” dihilangkan. Kayaknya bakal lebih fresh. Satu lagi kelebihan kover ini adalah kurangnya image yang dikesankan ‘dewasa’. Jadi lebih mirip gambar anak kecil yang sangat fun ketika ngerjainnya.
Begitulah..

oleh:will(be)done.
Read more!

Minggu, 05 Oktober 2008

Book Review : the ABC's Business Building Team

Review Materi Buku
Perlu waktu yang lama sekali buat saya sekedar mengerti satu halaman dari buku ini, menurut saya kualitas terjemahannya kurang ramah di otak saya. Bahasa Indonesia tapi dengan interpretasi Inggris. Rrrggghhh….


Buku ini membahas tentang Kode Kehormatan (Code of Honor) yang wajib dimiliki, dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh setiap individu dalam sebuah tim. Apapun, olah raga, keluarga, komunitas, tim bisnis, studio desain? Hehe… selama mereka mau membuat tim mereka menjadi Tim Juara. Buku ini membahas tentang Kode Kehormatan (Code of Honor) yang wajib dimiliki, dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh setiap individu dalam sebuah tim. Apapun, olah raga, keluarga, komunitas, tim bisnis, studio desain? Hehe… selama mereka mau membuat tim mereka menjadi Tim Juara.

Kode kehormatan adalah seperangkat aturan dan standar prilaku yang dibuat sebagai pegangan agar seseorang atau tim mampu terus bertahan menghadapi tekanan-tekanan.
Seperti dalam buku ini, saya ingin mencoba bercerita kembali tentang isi buku lewat ilustrasi cerita.

Oke, jadi Joni sang illustrator pergi bahkan ketika Studio NGL yang menaunginya memberikan berbagai kemudahan, fasilitas dan akses menuju kualitas kehidupan yang lebih baik. Studio NGL bukan sedang memanjakan Joni, tapi untuk menjaga kinerja studio tetap efektif dan efisien. Jadi fasilitas untuk Joni lebih merupakan investasi. Sebut saja begitu.

Sulit menerka apa yang membuat Joni berkeras hati hengkang kecuali rekan-rekan lainnya di studio sama-sama tahu ada tekanan berat yang sedang menguji eksistensi studio secara tim atau bahkan secara personal setiap anggotanya. Deadline yang tak kenal ampun, spek hasil pekerjaan yang diinginkan pemberi order yang sulit dimengerti, energi yang terkuras, gaji yang tetap tidak bisa digunakan untuk menyicil Mercedes-benz, dan sederet ujian lain.

Lalu menilik ke beberapa minggu sebelumnya saat briefing tentang Visi masing-masing personil dipresentasikan, dalam rangka merubah status kepemilikan studio menjadi milik bersama. Briefing yang agak istimewa karena keterlambatan 5 menit saja bisa mengancam seseorang untuk gugur dari kepemilikan studio.

Sekarang kita bercerita tentang Joni saja. Tiba gilirannya untuk menyampaikan visinya tentang studio, dia terlihat sangat antusias tidak seperti biasa, bersemangat sekali. Bahkan antusiasmenya mengalahkan 2 rekan lainnya UTu dan Waroton yang sejak setengah jam sebelumnya masih saling bertanya-tanya “Seriuskah tentang status kepemilikan ini?” Bagi mereka ini membuat jantung mereka berdegup 2 kali lebih kencang.

Joni ingin merespon semakin padatnya order yang masuk ke studio, karena dalam aspek SDM (yang jumlahnya sedikit), order yang banyak ini tidak melulu menjanjikan senyum bahagia apalagi Mercedes-Benz. Tetapi Joni tetap ingin mengingatkan setiap personil yang panik dengan mengangkat kata “Be Ready!” sebagai visinya untuk studio, sebab bagaimanapun dan kapanpun menurutnya kepelikan dalam pekerjaan akan selalu ada, dan kuncinya adalah “Be Ready!”, bersiaplah, bersiap dengan segala “kejutan” yang akan menjelang.

Tetapi Joni tetap ingin pergi, mungkin tidak tahan lagi dengan semua tekanan.
Utu, Waroton, Amid (belum kesebut ya?) dan Bang Kemuy (Founder Studio NGL) tetap bertahan, justru mereka yang akhirnya meresapi kata “Be Ready!” sebagai pegangan mereka ketika tekanan datang. Mereka sadar bahwa saat dibawah tekanan, emosi memuncak, logika kacau, lalu insting yang akan mengambil alih, dan di saat-saat itulah mereka akan kembali menoleh ke “Be Ready!” yang terjemahannya adalah bersiap dengan segala “kejutan”, bahwa dalam setiap pekerjaan selalu saja ada kepelikan, menyerah berarti kalah, bertahan berarti menang. Mereka mengembalikan pegangan mereka yang hampir terlepas ke sebuah standar prilaku “Be Ready!” (yang sekarang boleh lah kita sebut sebagai kode kehormatan J).

Saat itu, mereka berempat dengan alias Studio NGL boleh berbangga hati, mereka jadi tim juara karena masih bertahan hingga hari ini, bahkan menjadi rival terberat Studio NLG, studio yang sudah lebih dulu menjadi tim juara.
Sederhananya seperti itu lah.



Review Desain Cover
Kalau bersandar pada standar kualitas yang berlaku di studio NLG tempat saya bekerja bersama, akan ada banyak sekali komentar yang harus dilontarkan untuk mengapresiasi buku ini.

Pada pertemuan mata dengan cover buku ini untuk pertama kalinya saja saya sudah beranggapan kalau buku ini adalah buku cetakan tahun jebot, jujur saja terasa sangat jadul, padahal sekalipun kalo ada keinginan untuk membangun kesan klasik tidak perlu dibikin seperti itu banget. Alih-alih mendapatkan kesan klasik, orang-orang malah menganggap itu memang betul-betul buku yang terlambat pajang selama bertahun-tahun.

Tapi tentu saja saya mengesampingkan aspek marketing disini, karena walaupun saya anggap cover buku ini masih banyak kekurangan dari segi estetika grafisnya tidak berarti buku ini jeblok di pasaran, who knows? Yang jelas, Stopress dengan tulisan “Pengantar oleh ROBERT KIYOSAKI” boleh jadi nilai tambah dari buku ini.

Coba tengok sebentar tulisan ABC yang diposisikan sebagai vocal point, berwarna ungu dengan outline yang tebal, saya langsung ingat dengan statement Fahmi–Art Director di studio- yang bilang bahwa penggunaan outline pada font (terlebih tanpa kegunaan yang jelas) lebih seperti representasi desainer yang masih kurang jam terbang, karena menurutnya penggunaan outline ini menunjukkan kekurang yakinan sang karyawan desain akan karyanya, entah itu karena takut tidak terlihat, atau malah karena benar-benar sangat ingin terlihat, naif begitu. :D

Sulit juga menerka maksud desainer dengan membubuhkan bentuk oval hitam dengan latar belakang ungu, atau sebaliknya, kecuali memang kombinasi layout teksnya langsung terlihat mata bahkan dari jarak pandang yang cukup jauh (tapi tidak usah sejauh berkilometer ya)

Tapi sekali lagi, ini asumsi saya disandarkan pada kebiasaan yang berlaku di Studio NLG, jadi kalaulah proses desain yang sering berkembang di studio adalah; Ide/Brainstorming-Sketsa-Acc Studio-Acc Klien/Penerbit, saya bahkan ragu untuk memperlihatkan sketsanya ke studio. Hehehe….sekali-kali jahat boleh ya!




NB: Review ini tidak dimaksudkan sedikitpun untuk menyinggung siapapun, bila ada kemiripan tokoh dan cerita, itu 100 persen hanya ilustrasi. Terima kasih untuk orang-orang yang mengilhami ilustrasi ini. Oh ya, selamat idul Fitri 1429 H, Mohon maaf lahir dan Bathin.


oleh: ata Read more!

Jumat, 26 September 2008

Book Review : Bengkel Kreativitas

Proses me-review buku ini tidak saya awali dengan pembacaan mendalam terhadap isi buku ini. Saya menggunakan teknik “membaca cepat” karena memang memang beberapa pertimbangan selain tebalnya isi buku yang belum sinkron dengan waktu. Kadang beberapa isi bisa saya pahami secara mendasar lewat judul bab karena memiliki judul yang komunikatif selain beberapa topik telah saya temui pada referensi lain. Jadi, inilah review singkat saya...



Desain

Menurut hemat saya, desain cover pada buku ini cenderung identik/khas dengan desain2 buku lain terbitan Kaifa. Kesan yang cenderung clear pada background namun “ramai” pada pada atribut2 visualnya. Simbol2 pada cover depannya cenderung tidak spesifik. Yang patut disayangkan,
mungkin adalah penggunaan beberapa simbol visual (Kunci Inggris) yang sebenernya bertolak belakang dengan pesan substansial judul buku ini, bahwa yang sebenernya disebut Bengkel Kreativitas bukanlah bengkel dalam definisi sebenernya (sebagai tempat - yang banyak perkakasnya) tapi merupakan “laboratorium eksperimental” kreatifitas hidup kita. Menjadi sesuatu yang cukup beresiko terhadap positioning buku ini tentunya.

Sedikit mengenai interior buku, pertama mengenai lay-out (tata letak). Pemilihan jenis huruf, karakter paragraph dan organisasi materi (misalnya ada box untuk materi khusus) terbilang baik. Sehingga teks isi menjadi legible, readeble dan terjaga. Namun, penggunaan elemen pada tepi luar halaman (warna abu) dalam ukuran yang berlebihan terasa “menekan/menyempitkan” area atau halaman buku. Selain itu, pada ilustrasi (penjelas) banyak ditemukan ketidak compact-an karakter visual antar satu dan lainnya (contoh cek halaman 208, 268,293 – bandingkan!)


Tapi hal positif yang tetap muncul dari desain yang dibuat Gus Ballon ini adalah kekhasan ala Kaifa-nya yang tetap ada. Jadi suatu hari kalau studio mo buat pemetaan terhadap karakter desain cover buku penerbit Kaifa, buku ini bisa jadi salah satu acuannya.

Tulisan

Harus diakui, “Bengkel Kreativitas” merupakan buku yang menarik & kaya!
Meski topik pada buku ini (tentang kreativitas) bukan hal baru yang saya baca, namun banyaknya pendekatan dan informasi baru mengenai kreatifitas serta pengemasan buku yang menarik membuat saya harus memberi aplaus bintang 5. Kualitas terjemahan (kasus klasik buku-buku import) & gaya tutur yang menarik menjadi faktor lainnya.

Pada dasarnya, buku “Bengkel Kreativitas” akan menuntun kita menumbuhkembangkan daya kreatif pikiran kita melalui 10 model strategi didalamnya. Strategi strategi tsb antaralain :

1. Pergaulan
2. Lingkungan
3. Perjalanan
4. Permainan
5. Alam Bawah Sadar
6. Seni
7. Teknologi
8. Berpikir
9. Bacaan
10. Jiwa Kreatif

Pada awalnya, buku ini mencoba memberikan penjelasan tentang kreativitas itu sendiri. Bahwa kreativitas adalah sesuatu yang dapat dipelajari & dikembangkan. Bukan sesuatu yang sifatnya lahiriah semata seperti dalam persepsi masyarakat pada umumnya. Yang menarik, sebelum menerapkan strategi-strategi tsb, buku ini mengajak kita untuk menyelami C.O.R.E kreatif yang ada pada diri kita. Mengenali potensi-potensi kecerdasan kita (di dalamnya dipaparkan 7 macam kecerdasan) sehingga kita dapat menyesuaikan penerapan strategi2 tersebut dengan potensi kita.

Dari beberapa strategi tersebut, saya menemukan beberapa teknik yang menarik menurut saya, yaitu teknik menumbuhkan daya kreatif melalui membaca dan menyatu dengan jiwa kreatif.

Teknik/strategi membaca telah dicoba aplikasikan melalui komunitas baca (Read or Die) ini. Sedangkan pada teknik menyatu dengan jiwa kreatif, kita dituntun untuk menumbuhkan daya kreatif melalui hubungan diri dengan nurani yang paling dalam. Tujuannya adalah untuk menemukan ide-ide kreatif dalam jiwa kita melalui kejernihan. Metode-metode menemukan kejernihan ini dilakukan dengan menyisir sisi spritualitas kita yang antaralain dapat dilakuakn melalui doa, meditasi, yoga, upacara, kalimat2 penggugah sampai dengan ziarah. Dapat dikatakan teknik kesepuluh ini merupakan teknik yang paling sulit digambarkan. Tapi sedikit kesimpulan yang saya dapatkan adalah bahwa kreativitas merupakan spiritulitas itu sendiri.

Bagi pembaca yang ingin mendalami lebih jauh materi pada isi, buku ini juga berisi rujukan-rujukan literasi lanjutan yang relevan pada tiap akhir bab-nya. Sehingga buku ini seolah dirancang oleh penulisnya (Jordan E. Ayan) menjadi semacam “terminal” awal sumber literasi mengenai kreativitas.

Sekali lagi, buku ini cocok bagi orang yang ingin mengenali potensi kreatif pada dirinya dan memanfaatkannya. Nikmati, selami dan bersiaplah mengatakan kata : Aha!


Oleh :Ade Muh. Wantoro
Read more!

Selasa, 16 September 2008

Book Review: Process


Buku ini barangkali salah satu buku yang paling saya ingat sampai sekarang. Judulnya: Process. Kumpulan artwork, puisi visual, atau apapun istilahnya dari Tomato. Studio legendaris asal UK. Bisa dibilang buku ini terdiri dari beberapa segmen. Masing-masing segmen seperti dibiarkan mempunyai semacam karakter visual tertentu. Kadang satu atau beberapa halaman penuh hanya dengan gambar atau tekstur. Beberapa halaman yang lain terdapat teks. Nah ini yang cukup membingungkan dan diluar kebiasaan, jarang sekali gambar yang dibiarkan untuk membentuk figur tertentu. Begitu pula bila muncul teks, kombinasi antara gambar dan teks sepertinya tidak diusahakan untuk membentuk satu kesatuan makna yang ajeg. Kadang halaman demi halamannya terasa seperti puisi visual. Kadang seperti katalog imej, seringkali tidak begitu jelas benar perasaan yang saya alami selain rasa takjub terhadap kemungkinan-kemungkinan sensasi visual dan juga pemaknaan baru. Pengalaman yang aneh, absurd dan terus terang, fenomenal.




Butuh skill khusus buat bisa menikmati buku ini. Bentuknya yang tidak biasa membuat saya seringkali ragu, buku ini harus dibaca seperti apa?. Namun kadang saya pikir mudah dan sangat mudah sebetulnya bila saya bisa berpikir lebih bebas, "Ah, mo dibaca kayak gimana, kek, baca mah baca aja. Terserah elo". Pengalaman membaca buku ini, sejujurnya, selalu terdiri dari doubt and hesitation kayak gini. Mungkin inilah tujuan dibuat buku ini. Supaya pembaca bisa menikmati, secuil demi secuil aktifitas sebagai bagian dari sebuah proses. Sebagai sesuatu yang akan, sedang dan terus dicatat, dipelaari, di review dan didefinisi (ulang) kan. Buku ini - melalui ketidak lazimannya - saya terima sebagai salah satu yang telah, sedang dan akan terus mengingatkan saya mengenai Proses. Hal yang sangat penting namun kerap tidak ingin kita ingat.



oleh: fahmi
Read more!

Book Review: Mengusir Matahari: Fabel-Fabel Politik Kuntowijoyo

Saya sebetulnya tidak terlalu suka dengan topik politik. Barangkali karena itulah, buku ini gak pernah tamat dibaca meskipun udah bertahun-tahun nongkrong di rak buku saya. Terus terang, kali ini pun buku ini saya baca secara acak, dimulai dari cerita paling mudah dan pendek ;-), loncat dari cerita satu ke cerita lainnya

Tentang Tulisan

Saya akan pakai buku ini sebagai inspirasi pendidikan politik buat anak saya kalau saya punya anak. Gimana nggak? setiap cerita dalam buku ini (ada sekitar 80-an cerita) - melalui alur cerita, tingkah polah tokoh tokohnya yang absurd - seabsurd dunia politik sesungguhnya (didunia manusia) - memperlihatkan, mereview, mengkritik dan memberikan arahan tentang apa dan bagaimana dunia politik itu tanpa kehilangan unsur entertain/ hiburan ala Kuntowijoyo. Satir, parodikal – dan ngeyel.

Bayangkan tokoh Kancil yang ketika diminta untuk mengendus ruangan tengah istanan yang sudah pasti bau pesing pura-pura pilek agar tidak usah berkomentar, dan karenanya selamat dari ujian 'kejujuran' raja harimau. Bayangkan satu tulisan tentang posisi binatang Anjing di dunia binatang:

"Memang tidak seperti di dunia manusia, kedudukan anjing cukup terhormat di dunia binatang, "Anjing, lu!" itu sama dengan di dunia manusia orang bilang, "Rupamu kok seperti Marlon Brando!"
Air Keabadian

Ada sekitar 80-an cerita politik binatang dalam buku ini. Ngeyel, menghibur dan juga memberikan pencerahan. Kunto meluangkan untuk menuliskan nilai-nilai positif di setiap akhir cerita untuk membantu pembaca yang mencari (cari) hikmah dari sebuah cerita, meskipun seperti yang ditulis di bagian pengantar, setiap cerita bisa saja diposisikan tidak lebih dari sekedar hiburan.

Yang jelas, selain ide dasar untuk mengemas politik dalam bentuk fabel - menuliskannya secara konsisten, menerbitkannya di media massa (majalah Ummat) – dan membukukannya, kejailan, kengeyel-an cara bertutur, seperti biasa - saya angkat topi dengan daya imajinasi (ini salah satu elemen yang selalu saya cari di buku fiksi) Kuntowijoyo yang intuitif dan kaya. Dipadukan dengan ketajaman berpikir, kengeyelan, filsafat dan budaya Jawa yang kental, maka jadilah semua hal tersebut ramuan personal yang khas dari seseorang Kuntowijoyo.

Ah, kalau saya nanti punya waktu, saya ingin membuat cerita bergambar dari buku ini....


Tentang Desain

Menurut saya, Metaform telah mengembangkan pendekatan yang sangat unik dalam merancang buku ini. Tidak terlalu dibebani dengan pakem-pakem desain kover buku industrial tampaknya. Mungkin karena kategori buku sastra yang dibawa oleh buku, mungkin terinspirasi oleh materi dan keunikan Kuntowijoyo sendiri, mungkin oleh hal lainnya saya tidak terlalu paham. Hanya saja, sebagai desainer industri, saya pribadi akan memberikan pendekatan yang berbeda yang biasanya (karena sudah kadung kepatok sama pakem-pakem desain industrial yang sepertinya formal padahal tidak itu) bersumber pada pertimbangan gestalt. Saya tidak akan memilih warna abu-abu karena warna abu-abu untuk backgroung dan hitam untuk foreground (objek-objek) karena takut tidak eye cathing. Saya tidak akan menempatkan banyak objek karena akan cenderung menyulitkan orang untuk fokus. Saya mungkin juga akan memilih fonts yang lebih relevan dengan atmosfer ke'binatang' dan dunia 'binatang'an untuk buku ini, bukan jenis fonts psychedelyc seperti yang dipilih Metaform.

Semua pendekatan desain yang diambil oleh Metaform menurut hemat saya cukup diluar kelaziman. Diluar kebiasaan. Seperti seharusnya semua pendekatan desain dikembangkan sebagai instrumen inovasi dan seperti biasa, mendapatkan konflik konseptualnya dengan pertimbangan-pertimbangan industrial. Namun, lepas dari problem pendekatan ini. Hasil akhir dari Metaform, kover buku Mengusir Matahari ini menurut saya adalah sebuah karya grafis yang layak dicetak dengan ukuran besar, dipajang di galeri dan mungkin dikoleksi; eksentrik, distinguish dan artsy.

ps: saya tidak punya komentar khusus mengenai desain interior buku ini karena, well... desainnya emang biasa aja.
oleh: fahmi

Read more!

Jumat, 05 September 2008

Book Review: Asia Future Shock


Uthlubul ilma walau bi siin.. Carilah ilmu hingga ke negeri cina.
Muhammad.


Hadits diatas adalah bentuk penghargaan seorang Muhammad (panutan orang yang beragama islam) kepada negeri yang belum pernah ia kunjungi dan sudah maju peradabannya. Tak berlebihan memang, karena jika dibandingkan dengan keadaan negara Arab pada waktu itu, Cina sudah menjadi negara maju dari berbagai aspek. Perdagangan yang pesat, militer yang kuat, seni yang maju dan beberapa infrastruktur pendukung lain yang membuat negera Muhammad waktu itu seperti ketinggalan.

Omongan Muhammad tersebut memang bukan hanya ramalan kosong belaka jika melihat geliat negara tersebut sekarang ini. Terbukti berbagai macam produk yang bisa Cina hasilkan mampu menembus hampir ke seluruh negara di dunia ini. Dan Cina hampir bisa dipastikan akan menjadi negara maju di dunia. Selain karena hal itu juga, penomena ini diperkuat juga dengan buku karya Michael Backman yang memprediksikan maju dan mundurnya negara-negara di Asia (khususnya Cina dan India).

Meski memang banyak barometer kemajuan sebuah negara, tak urung, melulu yang berkaitan dengan ekonomi dan militer yang paling menjadi sorotan. Lalu setelah itu politik, sosial dan kebudayaan mengikuti dibelakangnya. Dan buku ini adalah prediksi akan menguat dan melemahnya negara-negara yang ada di Asia.

Dua negara yang menjadi sorotan disini (Cina dan India) ternyata yang diprediksikan akan menjadi negara yang paling maju di Asia. Selain karena selalu bersaing antara keduanya, dua negara ini juga adalah negara dengan jumlah penduduk yang paling banyak yang di prediksi beberapa dekade kedepan akan memberi kontribusi positif dari rakyatnya.

Dalam urusan kemiliteran dan ekonomi, Cina yang sakit hati dengan embargo senjata yang dimotori Amerika, diam-diam secara mengejutkan mampu mengembangkan sendiri persenjataan dalam negerinya. Selain bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran, juga untuk kepentingan komersil yang bukan politis.

Sedangkan India yang tidak merasakan himpitan embargo, bisa dengan leluasa membelu pesawat yang sangat di inginkan oleh Cina dari luar negeri tanpa campur tangan Amerika. India tidak menunjukkan taringnya dari sisi ekonomi dalam negeri. Malah menutup segala bentuk bantuan investasi dari luar negeri. Hanya saja, yang patut di perhitungkan adalah semangat pengusaha mereka yang menanamkan modalnya di luar negaranya sendiri. Ini terbukti dengan bertenggernya India di urutan kedua setelah Amerika!

Lantas kenapa hanya dua negara ini saja yang menjadi sorotan tajam? Tidak membahas banyak negara asia lainnya?

Dalam prediksi Backman, negara Asia yang sudah dianggap maju sekarang, justru dua atau tiga dekade kedepan akan mengalami kemunduran. Singapore yang akan mengalami krisis identitas ras asli Singapore karena terlalu terbuka dengan masuknya penduduk luar Singapore.

Korea yang (jika mau stabil dan kuat) harus bersatu antara Korea Selatan dan Korea Utara. Ini dikarenakan sebetulnya sistem pemerintahan dua negara ini, jika disatukan, akan menjadi satu sistem yang saling melengkapi dan menguatkan.

Jepang dengan kondisi penduduk yang tidak terbuka dengan ras lain (untuk masalah ini sangat berkebalikan dengan Singapore) akan menjadi ras yang paling sedikit. Dunia produktifnya hanya akan dikuasai oleh para usia tua.

...

Memang, Michael Backman dengan pemaparan dan data yang cukup komprehensip sepertinya hanya menonjolkan negara Cina saja dan dari kacamata ekonomi. Asia yang ia maksudkan bisa jadi adalah Cina. Negara Asia lain (Korea, Jepang, Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina), meski ada sedikit dibahas, tapi tidak menonjol.

Secara keseluruhan buku ini membahas tentang resiko dan peluang masa depan Asia. Penulis memuat 25 telaahannya tentang bagaimana Asia beberapa dekade mendatang. Ditulis dengan sangat lugas dan bahasa yang mudah dimengerti, membuat buku ini memang menjadi sebuah ”..buku non fiksi yang paling menghebohkan..”

Wallahu ’alam.

posted by: umed
Read more!

Jumat, 29 Agustus 2008

Read or Die: Why?

Bagaimana mungkin studio desain ngerasa butuh dan kepikiran buat bikin program baca buku?. Ngedesain mah ngedesain aja. Bisnis mah bisnis aja. Ngapain musti baca, apalagi bikin program baca buat internal? Apa nggak berlebihan? ... Yeah. Right. Sepintas emang gada hubungan dan nggak populer buat satu studio desain - apalagi dalam konteks NLG Studio sebagai institusi bisnis atau industri - bikin program baca internal. Sekilas juga ini terkesan mengada-ada, buang-buang waktu atau 'sok intelek' atau lainnya. But first, please picture this out:

1. Ide, pada dasarnya adalah jiwa dari seluruh aktifitas desain. Dan sejak desainer, manajer dan seluruh SDM dalam satu organisasi desain sangat kekurangan akses pada sumber-sumber ide: tontonan, bacaan, obrolan, dsb, dsb, bagaimana pula orang-orang ini bisa lancar beride?. Bagaimana pula organisasi bisa bertahan dengan terobosan-terobosan, kalau orang-orangnya sulitide (sulit ide)?
2. Book & Book Cover Design adalah project yang paling dominan dikerjakan oleh NLG Studio. Bagaimana pula bisa lancar mendesain buku atau kover buku seandainya desainer dan orang yang berhubungan dengan aktifitas ini tidak senang membaca, tidak tahu atau sedikit sekali pengetahuan tentang buku? bagaimana bisa merancang ide desain buku kalau - karena ketidak biasaannya - desainer tidak bisa mengimajinasikan dan menafsirkan esensi/ gagasan dasar yang ada dibalik setiap buku yang menjadi projectnya?
3. Tidak memerlukan terlalu banyak waktu bagi kami untuk yakin bahwa movie designer/ movie art director memang harus mencintai film - dan - dunia - perfilm-an, seperti pemusik yang harus mencintai musik. Bukan hanya atas hubungannya dengan kelancaran ide dan aktifitas teknis, tapi juga bahwa dengan mencintai maka akan tumbuh pula semangat; passion. Passion inilah yang akan menjadi jiwa dari semua ketekunan dan membuahkan banyak keajaiban dalam proses maupun karya. Hanya orang-orang yang mencintai buku-lah yang akan tetap bersemangat untuk memahami sebuah buku meskipun topik atau bahasanya sulit, hanya orang-orang dengan passion membaca buku yang kuat-lah yang akan menghasilkan karya-karya desain, terobosan manajemen, kehumanasan dalam perbukuan yang kosisten pula. Orang-orang, dan hanya orang orang seperti inilah yang bisa bertahan lebih dari banyak oportunis, dalam semrawutnya industri penerbitan, dan industri-industri lain di Indonesia.

So. We end up with this Read or Die program. Setiap peserta, secara bergilir (dengan sistem pengundian giliran kayak arisan) harus membaca buku - teks dan juga desain visualnya, mempresentasikan hasil bacaannya di forum R.O.D seminggu sekali, dan mempublikasikan review buku tersebut di blog ini. Di setiap akhir forum, dilakukan pengundian presenter baru dan buku yang harus dibacanya. Seluruh proses ini dinilai oleh seluruh peserta R.O.D. - menurut berbagai kriteria - melalui sistem point yang bisa dikonversikan dalam nilai rupiah. Nah, nominal inilah yang kemudian bisa ditabung atau langsung dibelanjakan oleh peserta dalam bentuk buku pilihannya sendiri.

Begitu seterusnya sampai setiap peserta memperoleh giliran baca dan presentasi. Bila terbukti mengasyikkan, sangat boleh jadi program ini diulang terus dengan mekanisme yang sama dan judul-judul buku yang berbeda. Pengennya sih setiap peserta yang lulus per berapa sesi bisa dapet merchandise R.O.D, semacam; Master of R.O.D atau R.O.D. Awards, bisa bentuk pin, t-shirt, atau gadget lainnya.

Minggu ini prototype program kombinasi klab baca, arisan buku, dan kompetisi ini bakal mulai dieksekusi. Kami sedang merancang logo, properti acara, keanggotaan, merchandise, dsb. Minggu depan rencananya musti sudah ada review satu judul buku di blog ini, yang berarti sudah ada satu presenter, satu staff studio yang jadi 'korban', dan 'martir' ;-) program ini . Mudah-mudahan lancar.
Read more!